Powered By Blogger

Selasa, 13 Juli 2010

Pascakolonialisme dalam Konteks Indonesia


Indonesia dikatakan sebagai salah satu negara pacakolonial (post-colonial state). Namun ada hal-hal yang membedakan Indonesia dari negara-negara pascakolonial lainnya. Hal tersebut terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang yang sangat dipengaruhi oleh masa-masa kemerdekaan. Indonesia berbeda dengan negara negara Afrika, dengan India, dan negara-negara pascakolonial lainnya. Pada negara-negara tersebut pengaruh kolonial terlihat dengan jelas pada sistem pemerintahan, sistem hukum, sistem pendidikan, bahkan identitas negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, pengajaran bahasa Inggris di India misalnya, dipandang oleh Gayatri Spivak sebagai salah satu bentuk “kekerasan epistemik” karena begitu berpengaruhnya negara kolonial Inggris di India. Pengaruh Perancis juga terlihat begitu kuat dalam aspek kehidupan negara-negara bekas jajahannya di Afrika.

Meskipun pada tahun 1950-1960-an masyarakat Indonesia masih mengidentikkan barat dengan Belanda, namun fenomena tersebut lama kelamaan hilang dengan sendirinya. Pengaruh Belanda tidak berlangsung lama di Indonesia. Banyak pihak menilai bahwa Belanda tidak menancapkan pengaruhnya, terutama kultur, secara mendalam di Indonesia. Belanda tidak meluaskan pengajaran bahasa Belanda di Indonesia. Di lain pihak, peranan para perintis kemerdekaan yang dengan bijak memilih bahasa nasional (yang terpengaruh banyak dari bahasa Melayu) harus diakui sebagai salah satu faktor yang turut berperan mengeliminasi penggunaan bahasa Belanda secara luas di Indonesia. Meskipun pada masa itu bahasa Belanda dipersepsikan sebagai bahasa yang melambangkan kemajuan.

Disamping perihal penggunaan bahasa, pengaruh Belanda juga tidak begitu tampak dalam sistem pendidikan di Indonesia. Secara filosofi, pendidikan nasional justru lebih dekat kepada slogan-slogan “Tut Wuri Handayani” ketimbang filosofi pendidikan ala Barat yang pada masa awal kemerdekaan justru lebih maju jauh dari pendidikan di Indonesia. Pada masa itu, sistem pendidikan diupayakan berdiri dengan mandiri dan menemukan bentuknya yang ideal, tidak terpengaruh dari lembaga-lembaga pendidikan bentukan Belanda yang pernah berdiri di Indonesia.

Hal diataslah antara lain faktor penyebab mengapa menurut pendapat saya, relevansi pascaklonialisme di Indonesia sebagai negara pascakolonial perlu dikaji ulang. Apakah ada bentuk lain yang lebih cocok untuk menjelaskan fenomena ini. Fitzgerald K. Sitorus memberikan alternatif bahwa Indonesia lebih tepat disebut sebagai Indonesia yang hidup dalam “kondisi-kondisi pascakolonial” (post-colonial conditions), bukan sebagai “negara pascakolonial” (post-colonial state). Kondisi pascakolonial merujuk kepada kondisi-kondisi ketidakbebasan, seperti penindasan dan ketidakadilan yang masih terjadi di sebuah negara yang secara politik sudah lepas dari penjajahan, sementara negara pascakolonial berarti sebuah negara yang masih dipengaruhi secara signifikan, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural oleh negara kolonial (Slemon, 2001)

Dalam kondisi pascakolonial seperti Indonesia, satu hal penting yang kiranya dijadikan prinsip dasar adalah bahwa “kebenaran adalah miliki semua pihak” atau, dibahasakan secara negatif “tak ada sebuah pihak pun yang bisa memonopoli kebenaran” dengan mangatasnamakan keindonesiaan. Kolonialisme dan pascakolonialisme sesungguhnya adalah persoalah hak menentukan kebenaran. Dan salah satu ide dasar pascakolonialisme adalah bahwa kebenaran bukan milik siapa-siapa dan tidak ditentukan oleh siapa-siapa, selain bangsa atau komunitas yang bersangkutan. Dalam pengertian ini, kebenaran keindonesiaan bukanlah sebuah esensi yang baku dan pasti, melainkan sebuah “kontrak” yang senantiasa berubah dan diperbaharui sebagai hasil “pertarungan wacana” dari seluruh elemen pembentuk keindonesiaan itu. Identitas, baik identitas diri maupun identitas bangsa, adalah sebuah fiksi yang kontigen dan terbentuk dalam proses sosiohistoris. Ia adalah sebuah permainan bahasa.

Pencarian bentuk dan kaji ulang terhadap konsep negara pascaklonial bagi Indonesia merupakan hal penting yang harus dilakukan. Memunculkan kembali pertanyaan apakah kita sebagai negara bangsa sama dengan negara-negara pascakolonial lainnya, merupakan agenda penting yang akan menuntun bangsa ini beserta masyarakat yang terhimpun di dalamnya kepada pencarian identitas yang sejati. Dalam pandangan saya, ada banyak sekali perbebdaan-perbedaan antara indonesia dengan negara-negara pascakolonial lainnya seperti India, Malaysia, dan sebagian negara-negara di benua Afrika yang harus disadari dalam upaya mencari identitas tersebut. Atau dalam jangka panjang, upaya ini mungkin saja dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi bangsa dan segenap masyarakat untuk mengenali diri, mencari jawaban atas segala permasalahan yang sampai saat ini masih sangat kompleks dan tidak terselesaikan.

Jika kita menggunakan alternatif lain seperti yang dimunculkan oleh Fitzgerald K. Sitorus, bahwa Indoensia saat ini bukanlah sebagai negara pascakolonial tetapi merupakan negara dengan kondisi-kondisi pascakolonial, asumsi tersebut akan sampai kepada pertanyaan-pertanyaan baru. Benarkah ketidakbebasan masih membelenggu sebagian besar anak bangsa yang lahir, hidup, dan tumbuh di negara ini ? Apa wujud penindasan dan ketidakadilan yang masih terjadi di Indonesia, sebagai sebuah negara yang secara politik sudah lepas dari penjajahan ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan tugas yang harus dijawab bagi kita sebagai individu merdeka yang menolak disamakan dengan negara-negara pascakolonial yang secara politik, ekonomi, maupun kultural masih terpengaruh secara signifikan oleh negara penjajah.

Memahami makna kemerdekaan dengan secara sadar menyatakan bahwa tidak satu negara pun yang berhak menentukan nasib bangsa ini kecuali rakyatnya menuntut sebuah kecerdasan berpikir tentang bentuk kemerdekaan itu sendiri, yang lepas dan bebas dari segala bentuk intervensi, dogmatisasi, ataupun kekerasan epistemik yang menentukan masa depan setiap individu di negeri ini. Sejatinya, kemerdekaan sebuah bangsa adalah kemerdekaan setiap kepala yang diakui sebagai warga negara. Jika bangsa merdeka, maka setiap individu harus bebas dari penindasan, bebas dari ketidak adilan, bahkan bebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan (jika kemiskinan dan kemelaratan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan penguasa terhadap mereka yang seharusnya dijamin hak-hak hidup dan ekonominya oleh undang-undang).


(Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar