Powered By Blogger

Senin, 12 Juli 2010

Antara "Bandrek" dan "Champagne"


Kali ini saya akan mencoba membahas perihal Lokalitas Kuliner dan Diplomasi. Sebagian mungkin ada yang berucap dalam hati, apalagi ini..?? kuliner disandingkan dengan diplomasi. Jangan buru-buru meremehkan makanan dan minuman seraya berpikir dua hal tersebut adalah hal yang tidak penting, terutama dalam "h"ubungan "i"nternasional apalagi dalam "H"ubungan "I"nternasional. Saya akan mencoba memberikan gambaran bahwa kuliner juga mendapat tempat dalam "h"ubungan "i"nternasional bahkan semenjak dahulu kala ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Hingga permulaan abad ke-20, nasi telah menjadi makanan pokok dalam hidangan orang-orang Eropa di Hindia. “Hidangan Nasi” (rijsttafel) dengan berbagai hidangan tambahan telah secara antusias dideskripsikan dalam fiksi. Manual-manual rumah tangga tahun 1900-an dan 1910-an, yang ditulis oleh perempuan-perempuan Indo, menyediakan resep-resep masakan Indonesia. Pada tahun 1919 “hidangan nasi” masih dianggap santapan utama pada pagi hari bagi orang-orang Eropa kaya. Orang-orang Eropa yang lebih miskin demikian pula dengan penduduk pribumi makan nasi tiga kali sehari. Namun demikian jika kita kembali pada pada tahun 1900, justru hidangan Eropa dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Dalam pesta-pesta makan malam disajikan hidangan-hidangan Eropa. Pada periode antara Perang Dunia, “hidangan nasi” dipindahkan ke hari Minggu dengan tujuan mengurangi kebiasaan makan nasi dan menggiatkan memakan makanan Eropa yang lebih "tinggi nilanya dan lebih mewah". Selama hari-hari selain Minggu, hidangan Eropa seperti ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut, asinan kobis, mengisi menu. Perkembangan ini dimungkinkan oleh semakin besarnya impor makanan kaleng dan dengan meningkatnya penanaman sayur di daerah-daerah dataran tinggi di Jawa (Bandung, Malang). Majalah Huisvrouw in Indie (sebuah majalah terkenal di Hindia Belanda pada masa itu) juga turut mendorong lebih jauh politik makanan ini dengan memberikan resep-resep Eropa. Selama masa Depresi, majalah ini juga menerbitkan daftar harga bahan-bahan makanan untuk membantu penganggaran belanja dan untuk menjaga agar pengeluaran koki tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan, namun tetap menjadikan menu Eropa menjadi hidangan utama. Kondisi ini mungkin saja berlanjut sampai zaman sekarang di Abad XXI sebab dalam jamuan-jamuan resmi kenegaraan, atau pertemuan2 formal kenegaraan dalam forum antar negara yang terhormat hidangan "nasi" bukanlah menu utama yang resmi.

Sekarang pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan "H"ubungan "I"nternasional untuk merespon ini. Sebagian besar dari kita yang tinggal di Bandung, mungkin pernah mencicipi makanan citarasa tinggi seperti Karedok, Pais Ikan Peda, Pais Ikan Mas, Pais Ayam, Tumis Leunca, Sayur Asem, Bajigur, Bandrek, Peyeum, dll. Namun sebagian kecil dari kita yang memikirkan bagaimana kalau makanan2 tradisional lokal itu dicicipi oleh "mereka" yang tinggal jauh diluar negeri sana, yang biasanya makan roti, keju, mayonaise, ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut, asinan kobis. akan sangat menarik bukan? saya tidak yakin setelah mencicipi bajigur yang komposisinya kopi, garam, gula jawa, santan, kelapa, vanili, buah atep (kolang-kaling) mereka akan diam saja dan tidak merasakan apa-apa. Hangat itu sudah pasti. Apalagi jika "mereka" disuruh mencicipi Bandrek yang bahan dasarnya adalah jahe dan gula merah, ditambah rempah-rempah serai, merica, pandan.Efek hangatnya tidak kalah dengan Vodka dari Rusia. Mengapa hangatnya bandrek dan bajigur tidak sampai di meja-meja jamuan makan malam konferensi tingkat kepala negara seperti KTT G-20 yang baru saja berlangsung? mengapa justru "Champagne" dari Perancis, tenderloine steak, yang disajikan disana?

Jawabannya hanya kita sebagai pelajar atau mahasiswa Hubungan Internasional atau para praktisi yang mungkin memahami kenapa "H"ubungan "I"nternasional kita tidak belum memberikan ruang yang lega untuk kita berbicara tentang karedok, bajigur, dan bandrek, dalam kerangka pemikiran diplomasi, dimana nantinya bajigur akan disandingkan dengan Vodka dan bandrek akan disejajarkan dengan "champagne"..
Semoga Saja..

(Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar