Powered By Blogger

Senin, 12 Juli 2010

Menakar Kapasitas "Diplomasi Kuliner" Indonesia

Banyak pengalaman unik yang terjadi tatkala Diplomasi Kuliner diterapkan. Salah satu contoh diplomasi kuliner antar negara diperlihatkan Presiden Amerika Serikat George W Bush saat menjamu mantan PM Jepang, Shinzo Abe yang saat itu melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke AS. Menu makan siang yang disajikan untuk Abe adalah cheeseburger, onion rings dan kue apel dengan es krim untuk penutup. Menu makan malam yang disajikan antara lain adalah udang chesapeake dan bebek panggang selain makanan-makanan khas dari Jepang seperti jamur shiitake yang dimasak di panci dan selada mizuna yang dimasak dengan campuran daging. Hal menarik juga terjadi ketika dua senator AS dari wilayah penghasil lembu, menyurati koki kepala di Gedung Putih, Cristeta Comerford agar menyajikan sapi AS selama kunjungan PM Jepang Shinzo Abe. Apa alasannya? Ternyata Jepang tercatat sebagai negara yang sangat ketat dalam menjalankan kebijakan impor daging sapi. Industri sapi dan sebagian anggota kongres AS sangat berharap Jepang dapat mengendurkan peraturan impornya untuk memungkinkan pengiriman lebih banyak sapi AS. Kedua senator ini rupanya percaya bahwa penyajian daging sapi dapat mendorong Shinzo Abe melonggarkan impor daging sapinya. Hal menarik juga terjadi ketika mantan PM Thailand yang terkenal sangat pandai memasak, Samak Sundaravej, mengundang petinggi Myanmar, Jenderal Thein Sein berkunjung ke Thailand. Samak memutuskan untuk membeli bahan dan memasak sendiri jamuan makan bagi Thein Sein. Menu yang disajikan oleh Samak adalah menu-menu khas Thailand Dalam jamuan makan ini, keduanya sempat berbincang mengenai upaya penguatan hubungan yang lebih erat antara kedua negara. Yang juga terkait dengan dengan diplomasi kuliner antar negara adalah acara buka puasa bersama antara Condoleeza Rice dengan Moammar Khadafi yang fenomenal. Acara santap malam bersama yang penuh kehangatan di tenda Khadafi ini disajikan dengan berbagai menu makanan tradisional Libya seperti iftar dan sup pedas.

Melihat fakta-fakta tersebut, maka muncul pertanyaan seperti apa kiprah kita dalam diplomasi kuliner, sebagai bangsa yang besar dan memiliki hasil pertanian sepanjang musim ? Apakah kita benar-benar tidak mampu untuk menggerakkan diplomasi dengan basis kuliner? Jangan buru-buru pesimis, sebab Dubes RI untuk Ceko, Salim Said pun pernah menjamu para dubes asing dan pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Ceko dengan menu nasi uduk pada tradisi perayaan Idul Fitri tanggal 6 Oktober 2008. Selain nasi uduk, Dubes Salim Said juga menghidangkan aneka makanan khas Indonesia lainnya seperti Soto Betawi, Sate, Mi Goreng dan Es Doger. Said berharap kegiatan ini dapat mempererat persahabatan antar negara dan antar anggota korps diplomatik di Praha, ibukota Ceko.Namun, kenapa baru Salim Said yang menyajikan makanan tradisional lokal nusantara ke dunia internasional? Tampaknya memang baru Said yang peduli dan "sadar" akan potensi kuliner kita.

Sekedar berpendapat bahwa banyak jalur-jalur yang sangat potensial untuk meningkatkan kapasitas Diplomasi Kuliner kita. Sudah saatnya kita mulai menggiatkan penelitian, pengajaran, penciptaan dan penyebarluasan national folklore dan produk budaya tradisional khususunya yang berkaitan dengan seni dan teknik kuliner tradisional lokal melalui berbagai saluran, baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini banyak Perguruan Tinggi di Luar Negeri yang memiliki program studi Asia dan/atau Indonesia. Menurut data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Australia menawarkan paling banyak program studi Asia Tenggara. Tercatat 15 perguruan tinggi menawrkan Studi Asia/Asia Tenggara dan Indonesia serta satu asosiasi untuk Asian Studies, dimana 6 diantaranya menitikberatkan pada studi Indonesia. Di Amerika terdapat 10 perguruan tinggi yang menawarkan program studi Asia dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, satu asosiasi Asian Studies, serta satu perguruan tinggi yang menawarkan program studi bahasa Indonesia. Beberapa perguruan tinggi di Eropa juga menawarkan studi-studi Asia dan Indonesia yaitu negara Jerman (4 perguruan tinggi) dan Belanda (3 perguruan tinggi. Disamping perguruan tinggi, fasilitas kursus atau institusi pendidikan bahasa Indonesia selain universitas juga bisa dimanfaatkan untuk promosi kuliner tradisional lokal Indonesia di luar negeri. Beberapa contoh organisasi non universitas maupun perorangan yang menawarkan pelajaran bahasa Indonesia, antara lain VILTA: Victorian Indonesian Language Teacher’s Association, Australia, Learning Indonesian with Uncle Karmenu, Australia, The Boston Language Institute, Boston USA. Terakhir, rasanya juga mungkin bagi kita memaksimalkan peranan organisasi dan komunitas karyasiswa dan pelajar Indonesia di luar negeri untuk jalur pengenalan kuliner tradisional lokal Indonesia di luar negeri. Karyasiswa dan pelajar yang sedang menuntut ilmu di luar neneri di masing-masing wilayah, baik provinsi, regional, maupun negara umumnya membentuk organisasi khusus bagi mereka dan simpatisannya. Di Amerika Serikat disebut Persatuan Pelajar Indonesia Amerika Serikat (Permias), di Australia disebut Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di negara-negara lainnya. Umumnya organisasi-organisasi ini memiliki jenjang dari tingkat pusat, daerah, dan komisariat.

Tetapi, yang terpenting adalah "kesadaran", karena tampaknya secara nasional ide-ide ini akan masih menempuh perjalanan panjang, maka saya pikir tidak ada salahnya jika Bandung mulai menyadari ini. Mari menjadikan Garut terkenal dengan dodol Garut, Cirebon terkenal dengan kerupuk udangnya, Cianjur dengan tauco Cianjur, Purwakarta dengan simping, Sumedang dengan tahu Sumedang, Cililin dengan wajitnya, oncom terdapat di Pasireungit, Majalaya terkenal dengan borondong. Tentu saja tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga terkenal di luar negeri dengan memanfaatkan jalur-jalur tersebut.

(Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar