Powered By Blogger

Minggu, 18 Juli 2010

Berbagi Pengalaman Mengikuti Tes CPNS Kemlu


Pembukaan tes seleksi Pejabat Diplomat dan Konsuler Kemlu (tes Kemlu) semakin dekat. Tes masuk Kemlu merupakan tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang berbeda dengan Kementerian lainnya karena poin utama nilai ada pada soal essay sehingga memerlukan cara menjawab yang berbeda pula. Oleh karena itu, saya ingin berbagi pengalaman saya dalam mengikuti tes ini.

Pertama-tama
Pengumuman pembukaan tes Kemlu biasanya terjadi di bulan Juli. Jadi, sebaiknya saat bulan Juli tersebut minimal sudah lulus sidang karena Surat Keterangan Lulus (SKL) dapat dijadikan dokumen pengganti ijazah (walau nanti mesti menggunakan ijazah juga saat registrasi ulang apabila lulus di bulan November nanti.

Apa yang Mesti Dipelajari?
Pertanyaan yang sering keluar adalah mengenai bahan apa saja yang harus dipelajari. Pada dasarnya, materi yang berbau politik internasional yang berhubungan dengan Indonesia yang sering keluar. Untuk mempelajari materi-materi tersebut dapat dengan membuka website Kemlu dan membuka website media seperti The Jakarta Post, The Economist, dan Foreign Policy.

Topik-topik yang kemungkinan keluar adalah:
1. Wawasan nusantara
2. Politik luar negeri bebas aktif
3. ASEAN
4. Indonesia di Organisasi Internasional (terutama PBB, WTO, OKI, Gerakan Non Blok dan APEC)
5. Isu-isu ekonomi seperti G-20
6. Isu-isu domestik seperti masalah pengungsi dan Papua.
7. Interfaith dialogue
8. Bali Democracy Forum

Pelaksanaan Tes
Tes Kemlu terdiri dari 4 tahap yaitu:
1. Seleksi Administrasi
Memeriksa kelengkapan dokumen2. Dokumen yang diperlukan dapat dibaca di pengumuman lowongan. Biasanya yang diminta adalah fotokopi dokumen yang sudah dilegalisir (kecuali kalau ditulis diminta yang asli ya). Biasanya minimal IPK pada jenjang S1 adalah minimal 2,75; apabila S2 dan S3 adalah minimal 3.

2. Tes Tertulis
Tes ini terdiri dari soal berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
a. Tes Bahasa Indonesia yang bobotnya 40% terdiri dari:
i. Pilihan ganda
ii. Isian
iii. Essay (5 soal)
b. Tes Bahasa Inggris yang bobotnya 60% terdiri dari 5 soal essay saja.

Ketika saya mengikuti tes (tahun 2009), soal yang keluar seperti apakah pengiriman TKI masih perlu atau tidak, legalitas hukuman mati di Indonesia, pengertian politik bebas aktif, pencipta lagu ASEAN, dan alinea 4 Pembukaan UUD 1945.

Saya menyarankan untuk mengisi essay bahasa Indonesia terlebih dahulu, kemudian bahasa Inggris, baru kemudian Isian dan Essay. Oh, ya bagi S1 dapat memilih 3 soal essay, S2 dapat memilih 4, sementara S3 harus mengisi semuanya. Pilih yang kira2 dikuasai dan dijawab dengan analisis yang lengkap selengkap-lengkapnya.

Pengumuman hasil tes tertulis ini biasanya 1 bulan setelah waktu pelaksanaan tes soalnya semua jawaban tes diperiksa satu persatu oleh Diplomat Kemlu.

Tingkat kelulusan di tahap ini termasuk kecil. Saat saya tes dari 7000-an orang yang tes, yang lolos hanya seribu kurang dikit saja. Oleh karena itu, selain memastikan materi telah dikuasai dengan baik, jangan lupakan kerapian tulisan anda dan doa.

3. Tes Bahasa
Kalau sudah lolos tahap tes tertulis, maka tes selanjutnya adalah tes bahasa. Kamu bisa memilih test bahasa dari bahasa Arab, China, Jepang, Perancis, Spanyol, Rusia, dan tentunya Inggris. Kira2 90% dari yang melamar Kemlu memilih tes bahasa Inggris.

Saat saya tes, tes yang saya ambil adalah tes bahasa Inggris. Bentuk tesnya memakai tes EPT dari LIA (mirip dengan TOEFL yang paper based tetapi minus ujian writing-nya). Agar kemungkinan lolos tes ini makin besar, pastikan TOEFL Paper Based-nya minimal 550. Bisa mencoba ke LIA (minta tes EPT yang biasa dipakai DEPLU) sebelum tes resminya dilakukan.

Mengambil tes bahasa lain juga bias dilakukan kalau kamu merasa ahli. Jangan ambil tes bahasa lain kalau kemampuan masih di level dasar. Hal ini karena ada banyak anak sastra yang juga ngambil tes Kemlu dan kemampuan mereka di bidang bahasa yang diujikan tersebut biasanya lebih tinggi (sudah belajar bertahun-tahun tentunya). Kalau merasa Bahasa Inggrisnya sudah jago sementara bahasa lain masih tingkat dasar, ambil yang Bahasa Inggris saja. Yang lolos di tahap ini biasanya 50% dari yang ikut tes.

4. Tes Tahap Terakhir
Tes ini terbagi jadi 4 bagian dalam waktu 4 hari, yaitu:
a. Tes Kemampuan IT
Soalnya cukup mudah, berisi kemampuan menggunakan Microsoft Office dan pengetahuan umum komputer. Tes berbentuk tulisan dan bukan praktek. Jangan kaget apabila ada soal yang isinya mengenai langkah-langkah melakukan prosedur tertentu di komputer.

b. Tes Psikotes Tertulis
Ada banyak jenis tesnya ; dari menggambar pohon, tes Pauline (ketahanan kerja), dll. Karena waktunya 1 hari dan padat, siapkan stamina yang cukup sebelum tes dilaksanakan.

c. Tes Wawancara Psikologi
Tes dilakukan dalam bentuk wawancara. Pertanyaan yang ditanyakan biasanya berkaitan dengan pekerjaan terdahulu (kalau sudah pernah bekerja), penyelesaian dalam menghadapi skenario tertentu dalam pekerjaan, dan hal2 semacamnya.

d. Tes Wawancara Substansi
Yang wawancara itu Eselon 2 ke atas, ahli2 hubungan/hukum internasional, dan duta besar. Materi yang ditanyakan kurang lebih sama seperti tahap tes tertulis.

Dalam hal bersikap, bersikaplah sopan dan banyak senyum dengan pewawancara, apabila tidak setuju jangan langsung bilang tidak, agak sedikit memutar tapi intinya bilang keberatan dengan poin dia (diplomat never said “no” directly) dan kemudian sampaikan posisi anda secara persuasif. Apabila tidak tahu, bilang saja “kurang informasi". Jangan ngotot untuk menjawabnya.

Pertanyaan yang selalu keluar, selain pertanyaan yang berbau substansi adalah pertanyaan mengenai motivasi menjadi diplomat di Kemlu. Saat saya tes, pertanyaan ini keluar langsung pada saat yang pertama.

Tips umum
Tips-tips umum yang dapat saya berikan adalah
1. Datang ke tempat tes 1 jam sebelum tes dimulai, jangan telat!;
2. Siapkan semua peralatan dan perlengkapan tes (alat tulis, kartu peserta ujian, pas foto 4x6, 3x4) secara lengkap;
3. Berpakaian rapi (no jeans dan kaos);
4. Banyak bergaulah dengan peserta tes lain untuk mencari bocoran pertanyaan wawancara, soalnya pertanyaan wawancara kurang lebih sama;
5. Jagalah kesehatan; dan
6. Berdoalah yang khusyuk.

(Disadur dari tulisan Nenda Inasa Fadhilah)

Selasa, 13 Juli 2010

Pascakolonialisme dalam Konteks Indonesia


Indonesia dikatakan sebagai salah satu negara pacakolonial (post-colonial state). Namun ada hal-hal yang membedakan Indonesia dari negara-negara pascakolonial lainnya. Hal tersebut terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang yang sangat dipengaruhi oleh masa-masa kemerdekaan. Indonesia berbeda dengan negara negara Afrika, dengan India, dan negara-negara pascakolonial lainnya. Pada negara-negara tersebut pengaruh kolonial terlihat dengan jelas pada sistem pemerintahan, sistem hukum, sistem pendidikan, bahkan identitas negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, pengajaran bahasa Inggris di India misalnya, dipandang oleh Gayatri Spivak sebagai salah satu bentuk “kekerasan epistemik” karena begitu berpengaruhnya negara kolonial Inggris di India. Pengaruh Perancis juga terlihat begitu kuat dalam aspek kehidupan negara-negara bekas jajahannya di Afrika.

Meskipun pada tahun 1950-1960-an masyarakat Indonesia masih mengidentikkan barat dengan Belanda, namun fenomena tersebut lama kelamaan hilang dengan sendirinya. Pengaruh Belanda tidak berlangsung lama di Indonesia. Banyak pihak menilai bahwa Belanda tidak menancapkan pengaruhnya, terutama kultur, secara mendalam di Indonesia. Belanda tidak meluaskan pengajaran bahasa Belanda di Indonesia. Di lain pihak, peranan para perintis kemerdekaan yang dengan bijak memilih bahasa nasional (yang terpengaruh banyak dari bahasa Melayu) harus diakui sebagai salah satu faktor yang turut berperan mengeliminasi penggunaan bahasa Belanda secara luas di Indonesia. Meskipun pada masa itu bahasa Belanda dipersepsikan sebagai bahasa yang melambangkan kemajuan.

Disamping perihal penggunaan bahasa, pengaruh Belanda juga tidak begitu tampak dalam sistem pendidikan di Indonesia. Secara filosofi, pendidikan nasional justru lebih dekat kepada slogan-slogan “Tut Wuri Handayani” ketimbang filosofi pendidikan ala Barat yang pada masa awal kemerdekaan justru lebih maju jauh dari pendidikan di Indonesia. Pada masa itu, sistem pendidikan diupayakan berdiri dengan mandiri dan menemukan bentuknya yang ideal, tidak terpengaruh dari lembaga-lembaga pendidikan bentukan Belanda yang pernah berdiri di Indonesia.

Hal diataslah antara lain faktor penyebab mengapa menurut pendapat saya, relevansi pascaklonialisme di Indonesia sebagai negara pascakolonial perlu dikaji ulang. Apakah ada bentuk lain yang lebih cocok untuk menjelaskan fenomena ini. Fitzgerald K. Sitorus memberikan alternatif bahwa Indonesia lebih tepat disebut sebagai Indonesia yang hidup dalam “kondisi-kondisi pascakolonial” (post-colonial conditions), bukan sebagai “negara pascakolonial” (post-colonial state). Kondisi pascakolonial merujuk kepada kondisi-kondisi ketidakbebasan, seperti penindasan dan ketidakadilan yang masih terjadi di sebuah negara yang secara politik sudah lepas dari penjajahan, sementara negara pascakolonial berarti sebuah negara yang masih dipengaruhi secara signifikan, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural oleh negara kolonial (Slemon, 2001)

Dalam kondisi pascakolonial seperti Indonesia, satu hal penting yang kiranya dijadikan prinsip dasar adalah bahwa “kebenaran adalah miliki semua pihak” atau, dibahasakan secara negatif “tak ada sebuah pihak pun yang bisa memonopoli kebenaran” dengan mangatasnamakan keindonesiaan. Kolonialisme dan pascakolonialisme sesungguhnya adalah persoalah hak menentukan kebenaran. Dan salah satu ide dasar pascakolonialisme adalah bahwa kebenaran bukan milik siapa-siapa dan tidak ditentukan oleh siapa-siapa, selain bangsa atau komunitas yang bersangkutan. Dalam pengertian ini, kebenaran keindonesiaan bukanlah sebuah esensi yang baku dan pasti, melainkan sebuah “kontrak” yang senantiasa berubah dan diperbaharui sebagai hasil “pertarungan wacana” dari seluruh elemen pembentuk keindonesiaan itu. Identitas, baik identitas diri maupun identitas bangsa, adalah sebuah fiksi yang kontigen dan terbentuk dalam proses sosiohistoris. Ia adalah sebuah permainan bahasa.

Pencarian bentuk dan kaji ulang terhadap konsep negara pascaklonial bagi Indonesia merupakan hal penting yang harus dilakukan. Memunculkan kembali pertanyaan apakah kita sebagai negara bangsa sama dengan negara-negara pascakolonial lainnya, merupakan agenda penting yang akan menuntun bangsa ini beserta masyarakat yang terhimpun di dalamnya kepada pencarian identitas yang sejati. Dalam pandangan saya, ada banyak sekali perbebdaan-perbedaan antara indonesia dengan negara-negara pascakolonial lainnya seperti India, Malaysia, dan sebagian negara-negara di benua Afrika yang harus disadari dalam upaya mencari identitas tersebut. Atau dalam jangka panjang, upaya ini mungkin saja dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi bangsa dan segenap masyarakat untuk mengenali diri, mencari jawaban atas segala permasalahan yang sampai saat ini masih sangat kompleks dan tidak terselesaikan.

Jika kita menggunakan alternatif lain seperti yang dimunculkan oleh Fitzgerald K. Sitorus, bahwa Indoensia saat ini bukanlah sebagai negara pascakolonial tetapi merupakan negara dengan kondisi-kondisi pascakolonial, asumsi tersebut akan sampai kepada pertanyaan-pertanyaan baru. Benarkah ketidakbebasan masih membelenggu sebagian besar anak bangsa yang lahir, hidup, dan tumbuh di negara ini ? Apa wujud penindasan dan ketidakadilan yang masih terjadi di Indonesia, sebagai sebuah negara yang secara politik sudah lepas dari penjajahan ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan tugas yang harus dijawab bagi kita sebagai individu merdeka yang menolak disamakan dengan negara-negara pascakolonial yang secara politik, ekonomi, maupun kultural masih terpengaruh secara signifikan oleh negara penjajah.

Memahami makna kemerdekaan dengan secara sadar menyatakan bahwa tidak satu negara pun yang berhak menentukan nasib bangsa ini kecuali rakyatnya menuntut sebuah kecerdasan berpikir tentang bentuk kemerdekaan itu sendiri, yang lepas dan bebas dari segala bentuk intervensi, dogmatisasi, ataupun kekerasan epistemik yang menentukan masa depan setiap individu di negeri ini. Sejatinya, kemerdekaan sebuah bangsa adalah kemerdekaan setiap kepala yang diakui sebagai warga negara. Jika bangsa merdeka, maka setiap individu harus bebas dari penindasan, bebas dari ketidak adilan, bahkan bebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan (jika kemiskinan dan kemelaratan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan penguasa terhadap mereka yang seharusnya dijamin hak-hak hidup dan ekonominya oleh undang-undang).


(Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 12 Juli 2010

Universitas Hamburger atau Kupat Tahu ?


Setelah sebelumnya saya menulis tentang Bandrek dan Champagne dan kuliner tradisional lokal kita pada masa kolonialisme, rasanya seru juga untuk membahas tentang kuliner kita pada masa globalisasi ini. Iseng2 berpikir tentang makanan kaum muda sekarang maka tak jauh-jauh otak saya langsung menuntun pada simbol "M" besar berwarna kuning dan hampir ada dimana-mana, yup benar sekali jika anda berpikir itu adalam McDonald's.

Oak Brook, Illinois, Amerika Serikat adalah kantor pusat McDonald’s, sebuah usaha waralaba (franchise) yang bergerak di penjualan hamburger yang restorannya kini tersebar dimana-mana termasuk di Indonesia. Mungkin sedikit dari kita yang mengetahun bahwa McDonald’s memiliki tema pokok bahwa McDonald’s tidak hanya membuat makanan, tetapi juga “mencetak manusia”, tidak hanya membuat hamburger, tetapi kebudayaan, tidak hanya perihal perut, tatapi juga tentang gaya hidup. Sama seperti "mbah" Lévi Strauss yang mendunia dengan memproduksi blue jeans di seluruh dunia, yang terjadi pada kuliner dan kebudayaan pada masa globalisasi ini adalah proses produksi yang mengikuti desain kebudayaan berupa standarisasi dalam skala global. Ray A. Kroc (1903-1984) pelopor dan penggagas McDonald’s, bukan hanya menciptakan hamburger lezat, namun hal tersebut adalah awal dari standardisasi konsumen dan budaya generasi muda. Restoran McDonald's yang mungkin saja ada di sekitar tempat tinggal kita itu dirintis pada tahun 1955 ketika Kroc mulai menciptakan sistem waralaba dari restoran kecil di Des Plaines, pinggiran Chicago. Yang menarik dari restoran waralaba ini adalah McDonald’s juga memiliki Universitas Hamburger (Hamburger University) di Oak Brook, sebuah universitas yang memahami sekali bahwa sesungguhnya bukan makanan yang mereka proses, tetapi konsumen. Yang distandardisasi bukan jenis makanannya, tetapi konsumennya. Maknyossss..!!!!

Saya lantas berpikir, apakah kita yang rutin menikmati tayangan wisata kuliner di salah satu televisi swasta nasional pernah "ngeh" tentang cara-cara McDonald's menjalankan politik makanannya melalui Universitas Hamburger ini..? jangan-jangan kita hanya "doyan" nongkrong di depan televisi setiap tengah hari karena secara tidak langsung, gambaran visual makanan-makanan khas Indonesia yang menggiurkan ditambah dengan mimik Pak Bondan yang berulang kali bilang "Mak Nyoss, Top Markotop, atau Finger Licking Good" itu setidaknya bisa merubah sepiring nasi putih, sepotong tahu, sepotong tempe, dan kecap yang kita nikmati siang itu bisa seketika berubah rasa menjadi sepiring besar Rendang Daging asal Sumatera Barat atau Ayam Bakar Taliwang asal Lombok. Lantas terbuai dan tak pernah berpikir tentang bagaimana caranya restoran McDonald's di dekat rumah kita itu bisa begitu terkenal dan pembelinya rela antri untuk mencicipi potongan roti isi, ditambah saos sambel, sepotong selada, seiris tomat plus segelas minuman ringan yang bisa bikin kembung penderita maag. Dan usut punya usut, ternyata Universitas Hamburger itulah yang menjadi alasan kenapa kita merasa gaya dan begengsi ketika makan di McDonald's ketimbang makan Kupat Tahu di depan kostan. Padahal soal rasa, jangan minder dulu dengan kupat tahu, saya rasa saos kacang kupat tahu punya rasa yang lebih pas dilidah kita sebagai orang Indonesia ketimbang mayonaise yang terselip dalam potongan roti hamburger.

Sekarang pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan "H"ubungan "I"nternasional untuk merespon ini daya dobrak McDonald's dengan Universitas Hamburgernya..?? Tentu saja yang tahu caranya adalah kita sebagai pelajar ataupun mahasiswa Hubungan Internasional. Apakah akan membiarkan Kupat Tahu tadi hanya bisa dinikmati para mahasiswa bercelana pendek bersandal jepit setiap pagi di depan kostan, atauu sudah saatnya para nona nona muda dan tuan tuan kaya rela berlama-lama mengantri untuk mendapatkan sepiring kupat tahu di sudut sibuk kota Tokyo, London, Paris, bahkan New York....
Semoga Saja....

(Diolah dari berbagai sumber)

Antara "Bandrek" dan "Champagne"


Kali ini saya akan mencoba membahas perihal Lokalitas Kuliner dan Diplomasi. Sebagian mungkin ada yang berucap dalam hati, apalagi ini..?? kuliner disandingkan dengan diplomasi. Jangan buru-buru meremehkan makanan dan minuman seraya berpikir dua hal tersebut adalah hal yang tidak penting, terutama dalam "h"ubungan "i"nternasional apalagi dalam "H"ubungan "I"nternasional. Saya akan mencoba memberikan gambaran bahwa kuliner juga mendapat tempat dalam "h"ubungan "i"nternasional bahkan semenjak dahulu kala ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Hingga permulaan abad ke-20, nasi telah menjadi makanan pokok dalam hidangan orang-orang Eropa di Hindia. “Hidangan Nasi” (rijsttafel) dengan berbagai hidangan tambahan telah secara antusias dideskripsikan dalam fiksi. Manual-manual rumah tangga tahun 1900-an dan 1910-an, yang ditulis oleh perempuan-perempuan Indo, menyediakan resep-resep masakan Indonesia. Pada tahun 1919 “hidangan nasi” masih dianggap santapan utama pada pagi hari bagi orang-orang Eropa kaya. Orang-orang Eropa yang lebih miskin demikian pula dengan penduduk pribumi makan nasi tiga kali sehari. Namun demikian jika kita kembali pada pada tahun 1900, justru hidangan Eropa dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Dalam pesta-pesta makan malam disajikan hidangan-hidangan Eropa. Pada periode antara Perang Dunia, “hidangan nasi” dipindahkan ke hari Minggu dengan tujuan mengurangi kebiasaan makan nasi dan menggiatkan memakan makanan Eropa yang lebih "tinggi nilanya dan lebih mewah". Selama hari-hari selain Minggu, hidangan Eropa seperti ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut, asinan kobis, mengisi menu. Perkembangan ini dimungkinkan oleh semakin besarnya impor makanan kaleng dan dengan meningkatnya penanaman sayur di daerah-daerah dataran tinggi di Jawa (Bandung, Malang). Majalah Huisvrouw in Indie (sebuah majalah terkenal di Hindia Belanda pada masa itu) juga turut mendorong lebih jauh politik makanan ini dengan memberikan resep-resep Eropa. Selama masa Depresi, majalah ini juga menerbitkan daftar harga bahan-bahan makanan untuk membantu penganggaran belanja dan untuk menjaga agar pengeluaran koki tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan, namun tetap menjadikan menu Eropa menjadi hidangan utama. Kondisi ini mungkin saja berlanjut sampai zaman sekarang di Abad XXI sebab dalam jamuan-jamuan resmi kenegaraan, atau pertemuan2 formal kenegaraan dalam forum antar negara yang terhormat hidangan "nasi" bukanlah menu utama yang resmi.

Sekarang pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan "H"ubungan "I"nternasional untuk merespon ini. Sebagian besar dari kita yang tinggal di Bandung, mungkin pernah mencicipi makanan citarasa tinggi seperti Karedok, Pais Ikan Peda, Pais Ikan Mas, Pais Ayam, Tumis Leunca, Sayur Asem, Bajigur, Bandrek, Peyeum, dll. Namun sebagian kecil dari kita yang memikirkan bagaimana kalau makanan2 tradisional lokal itu dicicipi oleh "mereka" yang tinggal jauh diluar negeri sana, yang biasanya makan roti, keju, mayonaise, ayam dan saus apel, kobis merah, dan sauerkraut, asinan kobis. akan sangat menarik bukan? saya tidak yakin setelah mencicipi bajigur yang komposisinya kopi, garam, gula jawa, santan, kelapa, vanili, buah atep (kolang-kaling) mereka akan diam saja dan tidak merasakan apa-apa. Hangat itu sudah pasti. Apalagi jika "mereka" disuruh mencicipi Bandrek yang bahan dasarnya adalah jahe dan gula merah, ditambah rempah-rempah serai, merica, pandan.Efek hangatnya tidak kalah dengan Vodka dari Rusia. Mengapa hangatnya bandrek dan bajigur tidak sampai di meja-meja jamuan makan malam konferensi tingkat kepala negara seperti KTT G-20 yang baru saja berlangsung? mengapa justru "Champagne" dari Perancis, tenderloine steak, yang disajikan disana?

Jawabannya hanya kita sebagai pelajar atau mahasiswa Hubungan Internasional atau para praktisi yang mungkin memahami kenapa "H"ubungan "I"nternasional kita tidak belum memberikan ruang yang lega untuk kita berbicara tentang karedok, bajigur, dan bandrek, dalam kerangka pemikiran diplomasi, dimana nantinya bajigur akan disandingkan dengan Vodka dan bandrek akan disejajarkan dengan "champagne"..
Semoga Saja..

(Diolah dari berbagai sumber)

Diplomasi Kebudayaan Berbasis Kuliner


Keragaman kuliner tradisional bangsa Indonesia merupakan entitas budaya yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Perkembangan dunia saat ini—dimana globalisasi menjadi semakin nyata—melahirkan sejumlah ancaman terhadap produk kebudayaan tradisional Indonesia. Diantaranya adalah pengakuan beberapa jenis kuliner tradisional yang berasal dari Indonesia sebagai produk kebudayaan bangsa lain. Namun, perhatian dan respon Indonesia akan pentingnya perlindungan terhadap potensi kuliner tradisional dirasa masih kurang. Hal ini mengakibatkan semakin terkikisnya entitas budaya bangsa ditengah-tengah ancaman multidimensional yang cenderung terus bertambah dan semakin mengaburkan karakter kita sebagai bangsa yang plural.

Pencarian solusi yang tepat untuk masalah ini mutlak dilakukan. Hal tersebut bertitik tolak dari pentingnya upaya menjaga keragaman tradisi dan budaya yang merupakan icon ciri khas bangsa Indonesia ditengah-tengah pergaulan dunia. Menanggapi permasalahan diatas, muncul peluang digunakannya diplomasi kebudayaan berbasis kuliner tradisional–yang merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kepentingan nasional dengan menggunakan pendekatan soft power dan prinsip-prinsip perdamaian- sebagai jawaban atas permasalahan. Dalam hal ini potensi keragaman dan keaslian kuliner tradisional Indonesia dijadikan sebagai basis strategi untuk memberikan citra positif melalui pembuktian bahwa pluralitas bangsa Indonesia tidak terbatas pada suku, ras, dan agama saja, akan tetapi juga pada kuliner tradisional. Dari perspektif hukum, strategi ini bermanfaat sebagai upaya awal melindungi produk kuliner tradisional berdasarkan hukum internasional.

Hasil akhir diterapkannya diplomasi kebudayaan berbasis kuliner tradisional ini adalah semakin populer dan dikenalnya kuliner tradisional kita diluar negeri, sehingga mendapatkan pengakuan baik secara sosial maupun hukum dari komunitas internasional sebagai produk budaya bangsa Indonesia sekaligus menjadi langkah awal lahirnya perlindungan secara nyata bagi keragaman kuliner tradisonal Indonesia.

(Diolah dari berbagai sumber)

Menakar Kapasitas "Diplomasi Kuliner" Indonesia

Banyak pengalaman unik yang terjadi tatkala Diplomasi Kuliner diterapkan. Salah satu contoh diplomasi kuliner antar negara diperlihatkan Presiden Amerika Serikat George W Bush saat menjamu mantan PM Jepang, Shinzo Abe yang saat itu melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke AS. Menu makan siang yang disajikan untuk Abe adalah cheeseburger, onion rings dan kue apel dengan es krim untuk penutup. Menu makan malam yang disajikan antara lain adalah udang chesapeake dan bebek panggang selain makanan-makanan khas dari Jepang seperti jamur shiitake yang dimasak di panci dan selada mizuna yang dimasak dengan campuran daging. Hal menarik juga terjadi ketika dua senator AS dari wilayah penghasil lembu, menyurati koki kepala di Gedung Putih, Cristeta Comerford agar menyajikan sapi AS selama kunjungan PM Jepang Shinzo Abe. Apa alasannya? Ternyata Jepang tercatat sebagai negara yang sangat ketat dalam menjalankan kebijakan impor daging sapi. Industri sapi dan sebagian anggota kongres AS sangat berharap Jepang dapat mengendurkan peraturan impornya untuk memungkinkan pengiriman lebih banyak sapi AS. Kedua senator ini rupanya percaya bahwa penyajian daging sapi dapat mendorong Shinzo Abe melonggarkan impor daging sapinya. Hal menarik juga terjadi ketika mantan PM Thailand yang terkenal sangat pandai memasak, Samak Sundaravej, mengundang petinggi Myanmar, Jenderal Thein Sein berkunjung ke Thailand. Samak memutuskan untuk membeli bahan dan memasak sendiri jamuan makan bagi Thein Sein. Menu yang disajikan oleh Samak adalah menu-menu khas Thailand Dalam jamuan makan ini, keduanya sempat berbincang mengenai upaya penguatan hubungan yang lebih erat antara kedua negara. Yang juga terkait dengan dengan diplomasi kuliner antar negara adalah acara buka puasa bersama antara Condoleeza Rice dengan Moammar Khadafi yang fenomenal. Acara santap malam bersama yang penuh kehangatan di tenda Khadafi ini disajikan dengan berbagai menu makanan tradisional Libya seperti iftar dan sup pedas.

Melihat fakta-fakta tersebut, maka muncul pertanyaan seperti apa kiprah kita dalam diplomasi kuliner, sebagai bangsa yang besar dan memiliki hasil pertanian sepanjang musim ? Apakah kita benar-benar tidak mampu untuk menggerakkan diplomasi dengan basis kuliner? Jangan buru-buru pesimis, sebab Dubes RI untuk Ceko, Salim Said pun pernah menjamu para dubes asing dan pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Ceko dengan menu nasi uduk pada tradisi perayaan Idul Fitri tanggal 6 Oktober 2008. Selain nasi uduk, Dubes Salim Said juga menghidangkan aneka makanan khas Indonesia lainnya seperti Soto Betawi, Sate, Mi Goreng dan Es Doger. Said berharap kegiatan ini dapat mempererat persahabatan antar negara dan antar anggota korps diplomatik di Praha, ibukota Ceko.Namun, kenapa baru Salim Said yang menyajikan makanan tradisional lokal nusantara ke dunia internasional? Tampaknya memang baru Said yang peduli dan "sadar" akan potensi kuliner kita.

Sekedar berpendapat bahwa banyak jalur-jalur yang sangat potensial untuk meningkatkan kapasitas Diplomasi Kuliner kita. Sudah saatnya kita mulai menggiatkan penelitian, pengajaran, penciptaan dan penyebarluasan national folklore dan produk budaya tradisional khususunya yang berkaitan dengan seni dan teknik kuliner tradisional lokal melalui berbagai saluran, baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini banyak Perguruan Tinggi di Luar Negeri yang memiliki program studi Asia dan/atau Indonesia. Menurut data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Australia menawarkan paling banyak program studi Asia Tenggara. Tercatat 15 perguruan tinggi menawrkan Studi Asia/Asia Tenggara dan Indonesia serta satu asosiasi untuk Asian Studies, dimana 6 diantaranya menitikberatkan pada studi Indonesia. Di Amerika terdapat 10 perguruan tinggi yang menawarkan program studi Asia dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, satu asosiasi Asian Studies, serta satu perguruan tinggi yang menawarkan program studi bahasa Indonesia. Beberapa perguruan tinggi di Eropa juga menawarkan studi-studi Asia dan Indonesia yaitu negara Jerman (4 perguruan tinggi) dan Belanda (3 perguruan tinggi. Disamping perguruan tinggi, fasilitas kursus atau institusi pendidikan bahasa Indonesia selain universitas juga bisa dimanfaatkan untuk promosi kuliner tradisional lokal Indonesia di luar negeri. Beberapa contoh organisasi non universitas maupun perorangan yang menawarkan pelajaran bahasa Indonesia, antara lain VILTA: Victorian Indonesian Language Teacher’s Association, Australia, Learning Indonesian with Uncle Karmenu, Australia, The Boston Language Institute, Boston USA. Terakhir, rasanya juga mungkin bagi kita memaksimalkan peranan organisasi dan komunitas karyasiswa dan pelajar Indonesia di luar negeri untuk jalur pengenalan kuliner tradisional lokal Indonesia di luar negeri. Karyasiswa dan pelajar yang sedang menuntut ilmu di luar neneri di masing-masing wilayah, baik provinsi, regional, maupun negara umumnya membentuk organisasi khusus bagi mereka dan simpatisannya. Di Amerika Serikat disebut Persatuan Pelajar Indonesia Amerika Serikat (Permias), di Australia disebut Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di negara-negara lainnya. Umumnya organisasi-organisasi ini memiliki jenjang dari tingkat pusat, daerah, dan komisariat.

Tetapi, yang terpenting adalah "kesadaran", karena tampaknya secara nasional ide-ide ini akan masih menempuh perjalanan panjang, maka saya pikir tidak ada salahnya jika Bandung mulai menyadari ini. Mari menjadikan Garut terkenal dengan dodol Garut, Cirebon terkenal dengan kerupuk udangnya, Cianjur dengan tauco Cianjur, Purwakarta dengan simping, Sumedang dengan tahu Sumedang, Cililin dengan wajitnya, oncom terdapat di Pasireungit, Majalaya terkenal dengan borondong. Tentu saja tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga terkenal di luar negeri dengan memanfaatkan jalur-jalur tersebut.

(Diolah dari berbagai sumber)